LAPORAN
PRAKTIKUM PENGANTAR OSEANOGRAFI
SALINITAS
Oleh :
Nama : Ridho
Anzari
Nim : 08101005026
Kelompok : II (dua)
LABORATORIUM OSEANOGRAFI
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Air laut mengandung 3,5% garam-garaman, gas-gas
terlarut, bahan-bahan organik dan partikel-partikel tak terlarut. Keberadaan
garam-garaman mempengaruhi sifat fisis air laut (seperti: densitas,
kompresibilitas, titik beku, dan temperatur dimana densitas menjadi maksimum)
beberapa tingkat, tetapi tidak menentukannya. Beberapa sifat (viskositas, daya
serap cahaya) tidak terpengaruh secara signifikan oleh salinitas. Dua sifat
yang sangat ditentukan oleh jumlah garam di laut (salinitas) adalah daya hantar
listrik (konduktivitas) dan tekanan osmosis (Ruwaida, 2000).
Garam-garaman utama yang terdapat dalam air laut
adalah klorida (55%), natrium (31%), sulfat (8%), magnesium (4%), kalsium (1%),
potasium (1%) dan sisanya (kurang dari 1%) teridiri dari bikarbonat, bromida,
asam borak, strontium dan florida. Tiga sumber utama garam-garaman di laut
adalah pelapukan batuan di darat, gas-gas vulkanik dan sirkulasi lubang-lubang
hidrotermal (hydrothermal vents) di laut dalam (Kasmaji, 2001).
Menurut teori, zat-zat garam tersebut berasal dari
dalam dasar laut melalui proses outgassing, yakni rembesan dari kulit
bumi di dasar laut yang berbentuk gas ke permukaan dasar laut. Bersama gas-gas
ini, terlarut pula hasil kikisan kerak bumi dan bersama-sama garam-garam ini
merembes pula air, semua dalam perbandingan yang tetap sehingga terbentuk garam
di laut. Kadar garam ini tetap tidak berubah sepanjang masa. Artinya kita tidak
menjumpai bahwa air laut makin lama makin asin (Agus Setiawan, 2010).
Secara ideal, salinitas merupakan jumlah dari seluruh
garam-garaman dalam gram pada setiap kilogram air laut. Secara praktis, adalah
susah untuk mengukur salinitas di laut, oleh karena itu penentuan harga
salinitas dilakukan dengan meninjau komponen yang terpenting saja yaitu klorida
(Cl). Kandungan klorida ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah dalam gram
ion klorida pada satu kilogram air laut jika semua halogen digantikan oleh
klorida. Penetapan ini mencerminkan
proses kimiawi titrasi untuk menentukan kandungan klorida (Anton, 2010).
Kandungan garam pada sebagian besar danau, sungai, dan
saluran air alami sangat kecil sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai
air tawar. Kandungan garam sebenarnya pada air ini, secara definisi, kurang
dari 0,05%. Jika lebih dari itu, air dikategorikan sebagai air payau atau
menjadi saline bila konsentrasinya 3 sampai 5%. Lebih dari 5%, ia
disebut brine (Winardhi, 1999).
Air laut secara alami merupakan air saline
dengan kandungan garam sekitar 3,5%. Beberapa danau garam di daratan dan
beberapa lautan memiliki kadar garam lebih tinggi dari air laut umumnya.
Sebagai contoh, Laut Mati memiliki
kadar garam sekitar 30% (Safrizal, 1996).
Salinitas suatu kawasan menentukan
dominansi makhluk hidup pada daerah tersebut. Suatu kawasan dengan salinitas
tertentu didominasi oleh suatu spesies tertentu terkait dengan tingkat
toleransi spesies tersebut terhadap salinitas yang ada. Tumbuhan merupakan
salah satu makhluk hidup tingkat tinggi yang terpengaruh oleh salinitas.
Spesies tumbuhan yang toleran terhadap salinitas tinggi (> 5‰) adalah
mangrove, yaitu antara lain Avicenia. Sedangkan tanaman yang beradaptasi
pada salinitas 0,5-5‰ antara lain Pluchea indica dan Chatarantus sp.
(Nybakken, 1992).
1.2. Tujuan
1.
Mengetahui alat-alat
yang digunakan untuk mengukur salinitas
2.
Mampu menggambarkan
garis-garis isohalin.
3.
Cara-cara dalam
mengukur salinitas
1.3.
Manfaat
1.
Dapat menggunakan alat-alat pengukur salinitas
2.
Dapat mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi salinitas
3.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
Salinitas adalah tingkat keasinan
atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat mengacu pada
kandungan garam dalam tanah. Kandungan garam pada sebagian besar danau, sungai, dan
saluran air alami sangat kecil sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai
air tawar. Kandungan
garam sebenarnya pada air ini, secara definisi, kurang dari 0,05%. Jika lebih
dari itu, air dikategorikan sebagai air payau atau
menjadi saline bila konsentrasinya 3 sampai 5%. Lebih dari 5%, ia
disebut brine (Djoko, 2011).
Salinitas suatu
kawasan menentukan dominansi makhluk hidup pada daerah tersebut. Suatu kawasan
dengan salinitas tertentu didominasi oleh suatu spesies tertentu terkait dengan
tingkat toleransi spesies tersebut terhadap salinitas yang ada. Tumbuhan
merupakan salah satu makhluk hidup tingkat tinggi yang terpengaruh oleh
salinitas. Spesies tumbuhan yang toleran terhadap salinitas tinggi (> 5‰)
adalah mangrove, yaitu antara lain Avicenia. Sedangkan tanaman yang
beradaptasi pada salinitas 0,5-5‰ antara lain Pluchea indica dan Chatarantus
sp. (Nybakken, 1992).
Faktor – faktor yang mempengaruhi
salinitas yaitu penguapan dan curah hujan. Makin besar tingkat penguapan air
laut di suatu wilayah, maka salinitasnya tinggi dan sebaliknya pada daerah yang
rendah tingkat penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya. Makin
besar/banyak curah hujan di suatu wilayah laut maka salinitas air laut itu akan
rendah dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah hujan yang turun salinitas akan
tinggi. Banyak sedikitnya sungai yang
bermuara di laut tersebut, makin banyak sungai yang bermuara ke laut tersebut
maka salinitas laut tersebut akan rendah, dan sebaliknya makin sedikit sungai
yang bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan tinggi (Annisa, 2008).
Air laut secara alami merupakan air saline
dengan kandungan garam sekitar 3,5%. Beberapa danau garam di daratan
dan beberapa lautan memiliki kadar garam lebih tinggi dari air laut umumnya.
Sebagai contoh, Laut Mati memiliki
kadar garam sekitar 30%. Walaupun kebanyakan air laut di dunia memiliki kadar
garam sekitar 3,5 %, air laut juga berbeda-beda kandungan garamnya. Yang paling
tawar adalah di timur Teluk Finlandia dan di utara Teluk Bothnia, keduanya
bagian dari Laut Baltik. Yang paling asin adalah di Laut Merah, di mana suhu
tinggi dan sirkulasi terbatas membuat penguapan tinggi dan sedikit masukan air
dari sungai-sungai. Kadar garam di beberapa danau dapat lebih tinggi lagi
(Denni, 2011).
Zat terlarut meliputi garam-garam anorganik,
senyawa-senyawa organik yang berasal dari organisme hidup, dan gas-gas yang
terlarut. Garam-garaman utama yang terdapat dalam air laut adalah klorida
(55,04%), natrium (30,61%), sulfat (7,68%), magnesium (3.69%), kalsium (1,16%),
kalium (1,10%) dan sisanya (kurang dari 1%) teridiri dari bikarbonat, bromida,
asam borak, strontium dan florida. Tiga sumber utama dari garam-garaman di laut
adalah pelapukan batuan di darat, gas-gas vulkanik dan sirkulasi lubang-lubang
hidrotermal (hydrothermal vents) di laut dalam. Keberadaan garam-garaman
mempengaruhi sifat fisis air laut (seperti: densitas, kompresibilitas, titik
beku, dan temperatur dimana densitas menjadi maksimum) beberapa tingkat, tetapi
tidak menentukannya. Beberapa sifat (viskositas, daya serap cahaya) tidak
terpengaruh secara signifikan oleh salinitas. Dua sifat yang sangat ditentukan
oleh jumlah garam di laut (salinitas) adalah daya hantar listrik
(konduktivitas) dan tekanan osmosis (Ariyat, 2005).
Kandungan garam mempunyai pengaruh
pada sifat-sifat air laut. Karena mengandung garam, titik beku air laut menjadi
lebih rendah daripada 0 0C (air laut yang bersalinitas 35 %o titik bekunya -1,9
0C), sementara kerapatannya meningkat sampai titik beku (kerapatan maksimum air
murni terjadi pada suhu 4 0C). Sifat ini sangat penting sebagai penggerak
pertukaran massa air panas dan dingin, memungkinkan air permukaan yang dingin
terbentuk dan tenggelam ke dasar sementara air dengan suhu yang lebih hangat
akan terangkat ke atas. Sedangkan titik beku dibawah 00 C
memungkinkan kolom air laut tidak membeku. Sifat air laut yang dipengaruhi
langsung oleh salinitas adalah konduktivitas dan tekanan osmosis (Widodo, 2011).
Istilah teknik untuk keasinan lautan
adalah halinitas, dengan didasarkan bahwa halida-halida terutama klorida adalah anion yang paling
banyak dari elemen-elemen terlarut. Dalam oseanografi, halinitas
biasa dinyatakan bukan dalam persen tetapi dalam “bagian perseribu” (parts
per thousand , ppt) atau permil (‰), kira-kira sama dengan jumlah gram
garam untuk setiap liter larutan. Sebelum tahun 1978, salinitas atau halinitas
dinyatakan sebagai ‰ dengan didasarkan pada rasio konduktivitas elektrik sampel
terhadap “Copenhagen water”, air laut buatan yang digunakan sebagai
standar air laut dunia. Pada 1978, oseanografer meredifinisikan salinitas dalam
Practical Salinity Units (psu, Unit Salinitas Praktis): rasio
konduktivitas sampel air laut terhadap larutan KCL standar. Rasio tidak
memiliki unit, sehingga tidak bisa dinyatakan bahwa 35 psu sama dengan 35 gram
garam per liter larutan (Gintara, 2000).
Teori
Asal-Usul Garam-Garam di laut
Mula-mula diperkirakan bahwa zat-zat
kimia yang menyebabkan air laut asin berasal dari darat yang dibawa oleh
sungai-sungai yang mengalir ke laut, entah itu dari pengikisan batu-batuan
darat, dari tanah longsor, dari air hujan atau dari gejala alam lainnya, yang
terbawa oleh air sungai ke laut. Jika hal ini benar tentunya susunan kimiawi
air sungai tidak akan berbeda dengan susunan kimiawi air laut. Namun tabel 2
menunjukkan bahwa ada perbedaan besar dalam susunan kimiawi kedua macam air
tersebut. Jadi dugaan itu tidak benar. Lalu dari mana sebenarnya asal
garam-garam tersebut (Noerdin, 1990).
Menurut teori, zat-zat garam
tersebut berasal dari dalam dasar laut melalui proses outgassing, yakni
rembesan dari kulit bumi di dasar laut yang berbentuk gas ke permukaan dasar
laut. Bersama gas-gas ini, terlarut pula hasil kikisan kerak bumi dan
bersama-sama garam-garam ini merembes pula air, semua dalam perbandingan yang
tetap sehingga terbentuk garam di laut. Kadar garam ini tetap tidak berubah
sepanjang masa. Artinya kita tidak menjumpai bahwa air laut makin lama makin
asin (Agus Setiawan, 2010).
Zat-zat yang terlarut yang membentuk
garam, yang kadarnya diukur dengan istilah salinitas dapat dibagi menjadi empat
kelompok, yakni: konstituen utama : Cl, Na, SO4, dan Mg, gas
terlarut : CO2, N2, dan O2., Unsur Hara : Si,
N, dan P, Unsur Runut : I, Fe, Mn, Pb, dan Hg. Konstituen utama merupakan
99,7% dari seluruh zat terlarut dalam air laut, sedangkan sisanya 0,3% terdiri
dari ketiga kelompok zat lainnya. Akan tetapi meskipun kelompok zat terakhir
ini sangat kecil persentasenya, mereka banyak menentukan kehidupan di laut.
Sebaliknya kepekatan zat-zat ini banyak ditentukan oleh aktivitas kehidupan di
laut (Afriyan Fahmi, 2011).
Selain zat-zat terlarut ini, air
juga mengandung butiran-butiran halus dalam suspense. Sebagian dari zat ini
akhirnya terlarut, sebagian lagi mengendap ke dasar laut dan sisanya diurai
oleh bakteri menjadi zat-zat hara yang dimanfaatkan tumbuhan untuk fotosintesis
(Buwono, 1990).
Sebaran
Salinitas di Laut
Sebaran salinitas di laut
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah
hujan, aliran sungai. Perairan estuaria atau daerah sekitar kuala dapat
mempunyai struktur salinitas yang kompleks, karena selain merupakan pertemuan
antara air tawar yang relatif lebih ringan dan air laut yang lebih berat,
juga pengadukan air sangat menentukan. Beberapa kemungkinan ditunjukkan secara
diagramatis pada gambar 1. Pertama adalah perairan dengan stratifikasi
salinitas yang sangat kuat, terjadi di mana air tawar merupakan lapisan yang
tipis di permukaan sedangkan di bawahnya terdapat air laut. Ini bisa ditemukan
di depan muara sungai yang alirannya kuat sedangkan pengaruh pasang-surut
kecil. Nelayan atau pelaut di pantai Sumatra yang dalam keadaan darurat
kehabisan air tawar kadang-kadang masih dapat menyiduk air tawar di lapisan
tipis teratas dengan menggunakan piring, bila berada di depan muara sungai
besar (Astuti, 1991).
Kedua, adalah perairan dengan
stratifikasi sedang. Ini terjadi karena adanya gerak pasang-surut yang
menyebabkan terjadinya pengadukan pada kolom air hingga terjadi pertukaran air
secara vertikal. Di permukaan, air cenderung mengalir keluar sedangkan air laut
merayap masuk dari bawah. Antara keduanya terjadi percampuran. Akibatnya garis
isohalin (=garis yang menghubungkan salinitas yang sama) mempunyai arah yang
condong ke luar. Keadaan semacam ini juaga bisa dijumpai di beberapa perairan
estuaria di Sumatra
(Dini Ayu Lestari, 2009).
Di perairan lepas pantai yang dalam,
angin dapat pula melakukan pengadukan di lapisan atas hingga membentuk lapisan
homogen kira-kira setebal 50-70 m atau lebih bergantung intensitas pengadukan.
Di perairan dangkal, lapisan homogen ini berlanjut sampai ke dasar. Di lapisan
dengan salinitas homogen, suhu juga biasanya homogen. Baru di bawahnya terdapat
lapisan pegat (discontinuity layer) dengan gradasi densitas yang tajam yang
menghambat percampuran antara lapisan di atas dan di bawahnya (Meiga, 2007).
Di bawah lapisan homogen, sebaran
salinitas tidak banyak lagi ditentukan oleh angin tetapi oleh pola sirkulasi
massa air di lapisan massa air di lapisan dalam. Gerakan massa air ini bisa
ditelusuri antara lain dengan mengakji sifat-sifat sebaran salinitas maksimum
dan salinitas minimum dengan metode inti (core layer method) (Puji Lestari,
2005).
Salinitas di daerah subpolar (yaitu
daerah di atas daerah subtropis hingga mendekati kutub) rendah di permukaan dan
bertambah secara tetap (monotonik) terhadap kedalaman. Di daerah subtropis
(atau semi tropis, yaitu daerah antara 23,5o – 40oLU atau
23,5o – 40oLS), salinitas di permukaan lebih besar
daripada di kedalaman akibat besarnya evaporasi (penguapan). Di kedalaman
sekitar 500 sampai 1000 meter harga salinitasnya rendah dan kembali bertambah
secara monotonik terhadap kedalaman. Sementara itu, di daerah tropis salinitas
di permukaan lebih rendah daripada di kedalaman akibatnya tingginya presipitasi
(curah hujan) (Wiratma, 2009).
Dinamika
Salinitas di Daerah Estuaria
Estuaria adalah perairan muara
sungai semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut
dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Estuaria dapat
terjadi pada lembah-lembah sungai yang tergenang air laut, baik karena
permukaan laut yang naik (misalnya pada zaman es mencair) atau pun karena turunnya
sebagian daratan oleh sebab-sebab tektonis. Estuaria juga dapat terbentuk pada
muara-muara sungai yang sebagian terlindungi oleh beting pasir atau lumpur
(Rudi Wicaksono, 1999).
Kombinasi pengaruh air laut dan air
tawar akan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan lingkungan yang
bervariasi, antara lain: 1. Tempat bertemunya arus air tawar dengan arus
pasang-surut, yang berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada
sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa
pengaruh besar pada biotanya. 2. Pencampuran kedua macam air tersebut
menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat
air sungai maupun sifat air laut. 3. Perubahan yang terjadi akibat adanya
pasang-surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis
dengan lingkungan sekelilingnya. 4. Tingkat kadar garam di daerah estuaria
tergantung pada pasang-surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus
lainnya, serta topografi daerah estuaria tersebut (Ahmad Sobri, 2001).
Sifat-sifat
Ekologis
Sebagai tempat pertemuan air laut
dan air tawar, salinitas di estuaria sangat bervariasi. Baik menurut lokasinya
di estuaria, ataupun menurut waktu. Secara umum salinitas yang tertinggi berada
pada bagian luar, yakni pada batas wilayah estuaria dengan laut, sementara yang
terendah berada pada tempat-tempat di mana air tawar masuk ke estuaria. Pada
garis vertikal, umumnya salinitas di lapisan atas kolom air lebih rendah
daripada salinitas air di lapisan bawahnya. Kondisi ini disebut ‘estuaria
positif’ atau ‘estuaria baji garam’ (salt wedge estuary) (Ismail, 2009).
Akan tetapi ada pula estuaria yang
memiliki kondisi berkebalikan, dan karenanya dinamai ‘estuaria negatif’.
Misalnya pada estuaria-estuaria yang aliran air tawarnya sangat rendah, seperti
di daerah gurun pada musim kemarau. Laju penguapan air di permukaan, yang lebih
tinggi daripada laju masuknya air tawar ke estuaria, menjadikan air permukaan
dekat mulut sungai lebih tinggi kadar garamnya. Air yang hipersalin itu
kemudian tenggelam dan mengalir ke arah laut di bawah permukaan. Dengan
demikian gradien salinitas airnya berbentuk kebalikan daripada ‘estuaria
positif’ (Rahmad Sastra, 1998).
Dalam pada itu, dinamika pasang
surut air laut sangat mempengaruhi perubahan-perubahan salinitas dan pola
persebarannya di estuaria. Pola ini juga ditentukan oleh geomorfologi dasar
estuaria. Sementara perubahan-perubahan salinitas di kolom air dapat
berlangsung cepat dan dinamis, salinitas substrat di dasar estuaria berubah dengan
sangat lambat. Substrat estuaria umumnya berupa lumpur atau pasir berlumpur,
yang berasal dari sedimen yang terbawa aliran air, baik dari darat maupun dari
laut. Sebabnya adalah karena pertukaran partikel garam dan air yang terjebak di
antara partikel-partikel sedimen, dengan yang berada pada kolom air di atasnya
berlangsung dengan lamban (Robi
Siswanto, 1995).
Model
Salinitas
Model Salinitas adalah suatu
penggambaran atas kadar garam yang terdapat pada air, baik kandungan atau
perbedaannya sehingga untuk tiap daerah dimungkinkan terdapat perbedaan model
salinitasnya. Perubahan salinitas dipengaruhi oleh pasang surut dan musim. Ke
arah darat, salinitas muara cenderung lebih rendah. Tetapi selama musim kemarau
pada saat aliran air sungai berkurang, air laut dapat masuk lebih jauh ke arah
darat sehingga salinitas muara meningkat. Sebaliknya pada musim hujan, air
tawar mengalir dari sungai ke laut dalam jumlah yang lebih besar sehingga
salinitas air di muara menurun (Mustakim, 2009).
Perbedaan salinitas dapat
mengakibatkan terjadinya lidah air tawar dan pergerakan massa di muara.
Perbedaan salinitas air laut dengan air sungai yang bertemu di muara
menyebabkan keduanya bercampur membentuk air payau. Karena kadar garam air laut
lebih besar, maka air laut cenderung bergerak di dasar perairan sedangkan air
tawar di bagian permukaan. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya sirkulasi air
di muara. Aliran air tawar yang terjadi terus-menerus dari hulu sungai membawa
mineral, bahan organik, dan sedimen ke perairan muara. Di samping itu, unsur
hara terangkut dari laut ke daerah muara oleh adanya gerakan air akibat arus
dan pasang surut. Unsur-unsur hara yang terbawa ke muara merupakan bahan dasar
yang diperlukan untuk fotosintesis yang menunjang produktifitas perairan.
Itulah sebabnya produktifitas muara melebihi produktifitas ekosistem laut lepas
dan perairan tawar. Lingkungan muara yang paling produktif di jumpai di daerah
yang ditumbuhi komunitas bakau (Rian Aprianto, 2008).
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
1. Gambarkan sebaran horizontal nilai
salinitas permukaan berikut dengan menggunakan kertas mm block
Stasiun
|
Lintang
|
Bujur
(BT)
|
Salinitas
|
1
|
1o30’00”
LU
|
125o30’00”
|
34,50
|
2
|
1o30’30”
LU
|
126o29’30”
|
34,65
|
3
|
1o00’00”
LU
|
127o00’00”
|
34,65
|
4
|
0o00’00”
LU
|
127o00’00”
|
34,64
|
5
|
1o00’00”
LS
|
127o00’00”
|
34,73
|
6
|
1o00’00”
LS
|
127o00’00”
|
34,65
|
7
|
1o00’00”
LS
|
126o00’00”
|
34,72
|
8
|
1o00’00”
LS
|
125o00’00”
|
34,27
|
9
|
0o30’00”
LS
|
124o00’00”
|
34,33
|
10
|
0o01’00”
LS
|
124o30’00”
|
34,33
|
11
|
0o30’00”
LU
|
125o30’00”
|
34,74
|
12
|
1o00’00”
LU
|
126o00’00”
|
34,65
|
Jelaskan
tentang kondisi perairan tersebut ?
2. Mengapa salinitas minimum terdapat di
daerah tropis dan salinitas maksimum terletak pada daerah 20oLU dan
20o LS ?
Jawab
:
Hal
itu dikarenakan tingginya curah hujan, khusus di perairan kepulauan salinitas
yang rendah akibat pengaruh air sungai.
4.2
Pembahasan
Salinitas
merupakan banyaknya zat-zat terlarut dalam air. Salinitas juga dapat
mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Kandungan garam pada sebagian besar danau,sungai, dan saluran air alami sangat
kecil sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan garam
sebenarnya pada air ini, secara definisi, kurang dari 0,05%. Jika lebih dari
itu, air dikategorikan sebagai air payau atau menjadi saline bila konsentrasinya 3 sampai 5%. Lebih dari 5%, ia disebut brine.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
salinitas yaitu sebagai berikut : Penguapan, makin besar tingkat penguapan air laut di suatu
wilayah, maka salinitasnya tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah
tingkat penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya. Curah
hujan, makin besar/banyak curah hujan di suatu wilayah laut maka salinitas air
laut itu akan rendah dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah hujan yang turun
salinitas akan tinggi.
Zona
dimana salinitas bekurang terhadap kedalaman ditemukan pada lintang rendah dan menengah,
yaitu antara lapisan permukaan campuran dan bagian atas lapisan dalam dimana
salinitas konstan. Zona tersebut dikenal sebagai haloklin.
Tiga
sumber utama dari garam-garaman di laut adalah pelapukan batuan di darat,
gas-gas vulkanik dan sirkulasi lubang-lubang hidrotermal (hydrothermal vents)
di laut dalam. Keberadaan garam-garaman mempengaruhi sifat fisis air laut
(seperti: densitas, kompresibilitas, titik beku, dan temperatur dimana densitas
menjadi maksimum) beberapa tingkat, tetapi tidak menentukannya. Beberapa sifat
(viskositas, daya serap cahaya) tidak terpengaruh secara signifikan oleh
salinitas. Dua sifat yang sangat ditentukan oleh jumlah garam di laut
(salinitas) adalah daya hantar listrik (konduktivitas) dan tekanan osmosis.
Pasang laut merupakan naik atau turunnya posisi
permukaan perairan atau samudera yang disebabkan oleh
pengaruh gaya gravitasi bulan dan matahari. Ada tiga sumber gaya
yang saling berinteraksi: laut, matahari, dan bulan. Pasang laut
menyebabkan perubahan kedalaman perairan dan mengakibatkan arus pusaran yang
dikenal sebagai arus pasang, sehingga perkiraan kejadian pasang sangat
diperlukan dalam navigasi pantai. Wilayah pantai yang terbenam sewaktu pasang
naik dan terpapar sewaktu pasang surut, disebut mintakat pasang, dikenal
sebagai wilayah ekologi laut yang khas. Periode pasang laut adalah waktu
antara puncak atau lembah gelombang ke puncak atau lembah gelombang berikutnya.
Panjang periode pasang surut bervariasi antara 12 jam 25 menit hingga 24 jam 50
menit.
Fenomena
pasang surut diartikan sebagai naik turunnya muka laut secara berkala akibat
adanya gaya tarik benda-benda angkasa terutama matahari dan bulan terhadap
massa air di bumi. pasang surut laut merupakan suatu
fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang
diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari
benda-benda astronomi terutama oleh matahari, bumi dan bulan. Pengaruh benda
angkasa lainnya dapat diabaikan karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih
kecil. Pasang surut yang terjadi di bumi ada tiga jenis yaitu: pasang surut
atmosfer (atmospheric tide), pasang surut laut (oceanic tide) dan
pasang surut bumi padat (tide of the solid earth).
Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek
sentrifugal. Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat
rotasi. Gravitasi bervariasi secara langsung dengan massa tetapi
berbanding terbalik terhadap jarak. Meskipun ukuran bulan lebih kecil
dari matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya
tarik matahari dalam membangkitkan pasang surut laut karena jarak bulan
lebih dekat daripada jarak matahari ke bumi. Gaya tarik gravitasi menarik
air laut ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional dilaut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh
deklinasi, sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan
matahari.
BAB V
KESIMPULAN
- Salinitas
merupakan zat-zat yang terlarut dalam air seperti Na dan Cl.
- Garis-garis
isohalin dapat menentukan lapisan permukaan, haloklin serta lapisan dalam.
- Ada
beberapa metode yang digunakan pada pengukuran salinitas yaitu salinitas
metode titrasi klor, metode refraktormeter dan metode induktif
salinometer.
- Salinitas
dapat dipengaruhi penguapan, curah hujan, dan aliran air tawar.
- Salinitas
dapat berasal dari darat, laut, dan luar angkasa.
DAFTAR
PUSTAKA
Annisa.
2008. Annisa.blogspot.com/salinitas.
Diakses tanggal
2
Oktober 2011 pukul 20.00
Anonim.
2009. www.wikipedia.com/salinitas. Diakses tanggal 3 Oktober 2011 pukul 20.00
Anton. 2003. Salinitas air laut. http://sediapayung.wordpress.com/ta/salinitas/
diakses pada 29 September 2011 pukul
19:56 WIB
Ariyat, Deni. 2005. Pengantar Oseanografi. Penerbit UI-Press.Jakarta
Darmadi. 2010. www.oseanografi.blogspot.com/200/07/salinitas-air-laut.html
Diakses tanggal 3 oktober 2011 pukul
20.00
Denni. 2011. Viskositas cahaya matahari laut.
http://wicaksono.blogspot.co.id
diakses pada tanggal 29 September
2011. 15.00 WIB
Djoko, Ridwan. 2004. Laut Nusantara.
Jakarta : Djambatan.
Hutabarat,Sahala.1985. Komponen Salinitas. Essis. Jakarta
Kasmaji. 2001. Salinitas laut. Yudhistira. Surabaya
Nontji, A. 2007. Laut Nusantara.
Jakarta : Djambatan.
Nybakken. 1992. Salinitas air laut. Erlangga. Bandung
Romimohtarto, K. dan Juwana, S.2007.
Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta : Djambatan.
Ruwaida. 2000. Estuaria. http//amir.blogspot.com
diakses tanggal 29 September
2011 pukul 14.13 WIB
Safrizal. 1996. Salinitas.
http://salinitas.wordpress.com/salinitas/ diakses tanggal 29 September 2011
pukul 15.12 WIB
Setiawan, Agus. 2001. Mikroorganisme laut. UTS-press. Jakarta
Winardhi.
2001. Salinitas air laut.www.oseanografi.blogspot.com. Diakses pada tanggal 01 Oktober 2011
pukul 23:34 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar